BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Alqur’an diturunkan pertama kali dengan ayat اقرأ pada surat al-alaq ayat 1-5 letaknya di gua
hira dan pada saat itu pula rasulullah pertama kali menerima wahyu yang
disampaikan lansung oleh jibril as., kurang lebih 14 abad yang lalu rasulullah ﷺ sudah mulai
berda’wah sesuai dengan perintah Tuhannya yakni Allah ﷻ namun saat itu
belum ada yang namanya Al-qur’an yang dibukukan, atau mushaf saat itu masih
berbentuk lembaran-lembaran terpisah yang ditulis di kulit hewan,
tulang-tulang, kayu, pelepah-pelapah kurma dan lain-lain yang juga dihafal oleh
beberapa sahabat, Alqur’an dibukukan pada masa sahabat setelah rasulullah tiada
yaitu pada masa kekhalifaan abu bakar dan atas kesepakatannya dari permintaan
umar.
Pada masa nabiﷺ beliau berdakwah dengan perintah
Allah, memerintahkan umatnya pada masa itu dengan apa yang diperintahkan oleh
Allah seperti sholat, puasa, zakat, haji dan lainnya dan rasulullah melarang
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah seperti minuman keras, judi,
mencuri dan lain-lain. Maka seperti itu pula yang dilakukn oleh sahabat-sahabat
mereka menetapkan sesuatu hukum sesuai dengan yang terdapat dalam Al-qur’an
maupun hadits, maka Al-qur’an sudah menjadi sumber hukum umat islam yang pertama
sejak nabi berdakwah untuk umatnya.
Hingga kini buku-buku yang telah ditulis oleh
para ulama juga harus bersumber dari al-Qur’an.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa itu Alqur’an?
2. Apakah Al-qur’an sebagai mu’jizat dan apakah
wajib berhujjah dengan al-Qur’an?
3. Apa sajakah hukum-hukum yang dikandung
al-qur’an?
4. Apa saja sifat-sifat hukum yang terdapat dalam
Al-qur’an?
5. Struktur bahasa seperti apa yang dipergunakan
oleh al-Qur’an dalam kaitannya dengan hukum?
6. Apa saja kaedah ushul fiqh yang terkait dengan
Al-qur’an?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pegertian Al-qur’an
Secara etimologis, al-qur’an adalah mashdar
dari kata qa ra a ( ق-ر-أ ), setimbangan dengan kata
fu’lan ( فعلان ).
Ada dua pengertian al-qur’an dalam bahasa arab, yaitu qur’an ( قرآن ) berarti
“bacaan” dan “apa yang tertulis padanya”, maqru’ ( مقروء),
ismu al-fail (subjek) dari qara’a ( قرأ ) arti yan disebut terakhir
dijumpai dalam firman Allah ﷻ pada surat
al-Qiyamah, 75: 17-18:
أِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَ قُرْآنَهُ فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فاتَّبِعْ
قُرْآنَهُ
Artinya :
Sesungguhnya
atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya
itu.
Al-qur’an merupakan nama kitab suci yang diturunkan
Allah kepada Nabi Muhammad ﷺ. Dalam kajian
ushul fiqh, al-qur’an juga disebut dengan alkitab ( الكتاب),
sebagaimana terdapat dalam surat albaqarah, 2:2:
ذٰلِكِ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ؞فِيْهِ ؞هُدًى
لِّلْمُتَّقِيْنَ
Artinya :
Kitab
(alqur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.
Dari segi terminologis ditemukan beberapa
definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqh, di antaranya adalah:[1]
كَلَامُ
اللهِ تَعَالَى الْمُنَزَّلُ عَلَى مُحَمَّدٍ ﷺ بِاللَّفْظِ الْعَرَبِيِّ الْمَنْقُوْلِ
إِلَيْنَا بِالتَّوَاتُرِ, الْمَكْتُوْبُ بِالْمَصَاحِفِ, الْمُتَعَبَّدُ بِتِلَاوَتِهِ,
الْمَبْدُوءُ بِالفَاتِحَةِ وَ الْمَختُومِ بِسُورَةِ النَّاسِ.
Kalam Allahﷻ,
mengandung mu’jizat dan diturunkan kepada Rasulullah, Muhammad ﷺ.,
dalam bahasa arab yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir,
membacanya merupakan ibadah, terdapat dalam mushhaf, dimulai dari surat
al-Fatihah dan ditutup dengan surat al-Nas.
Dari definisi ini, para ulama ushul fiqh
menyimpulkan ciri-ciri khas al-Qur’an, sebagai berikut :[2]
1. Al-Qur’an sebagai kalam Allah yang diturunkan
kepada Muhammad ﷺ.
2. Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab
quraisy.
3. Al-Qur’an itu dinukilkan kepada beberapa
generasi sesudahnya secara mutawatir (dituturkan oleh orang banyak kepada orang banyak sampai sekarang. Mereka
itu tidak mungkin sepakat untuk berdusta)
4. Membaca setiap kata dalam al-qur’an itu mendapat pahala dari Allah ﷻ.baik
bacaan itu berasal dari hafalan sendiri maupun dibaca secara lansung dari
mushhaf al-qur’an.
5. Al-Qur’an dimulai dari surat al-Fatihan dan
diakhiri dengan surat al-Nas.
B. Kehujjahan al-Qur’an al-Karim
Para ulama ushul fiqh dan lainnya sepakat menyatakan
bahwa al-qur’an merupakan sumber utama hukum Islam diturunkan Allah dan wajib
diamalkan, dan seorang mujtahid tidak dibenarkan menjadikan dalil lain sebagai
hujjah sebelum mebahas dan meneliti ayat-ayat al-Qur’an. Ada beberapa alasan
yang dikemukakan ulama ushul fiqh tentang kewajiban berhujjah dengan al-Qur’an
, diantaranya adalah:
1. Al-Qur’an itu diturunkan secara mutawatir, dan
ini memberi keyakinan bahwa al-Qur’an itu benar-benar datang dari Allah melalui
malaikat Jibril kepada Muhammad SAW. Yang dikenal sebagai orang yang paling
dipercaya.
2. Banyak ayat yang menyatakan bahwa al-Qur’an
itu datangnya dari Allah, di antaranya dalam surat ali Imran, 3:3:,
surat al-Nisa; 4: 105:., dan surat al-Nahl, 16: 89:
3. Mu’jizat al-Qur’an juga merupakan dalil yang
pasti akan kebenaran al-Qur’an itu datangnya dari Allah ﷻ.
Mu’jizat al-Qur’an bertujuan untuk menjelaskan kebenaran nabi SAW. Yang membawa
risalah ilahi dengan suatu perbuatan yang diluar kebiasaan umat manusia.
Kemu’jizatan al-Qur’an[3], menurut
para ahli ushul fiqh, akan terlihat dengan jelas apabila:
a. Adanya tantangan dari pihak mana pun,
b. Ada unsur-unsur yang menyebabkan munculnya
tantangn tersebut, seperti tantangan seorang kafir yang tidak percaya akan
kebenaran al-Qur’an dan kerasulan Muhammad SAW, dan
c. Tidak ada penghalang bagi munculnya tantangan
tersebut.
Unsur-unsur yang membuat al-Qur’an itu menjadi mu’jizat yang tidak mampu
ditandingi akal manusia, diantaranya adalah:
1) Dari segi keindahan dan ketelitian redaksinya,
umpamanya berupa keseimbangan jumlah bilangan kata dengan lawannya, diantaranya
seperti: al-hayah (hidup) dan al-maut (mati), dalam bentuk definite
sama-sama berjumlah 145 kali; al-kufr (kekufuran) dan al-Iman (iman)
sama-sama terulang dalam al-Qur’an sebanyak 17 kali.
2) Dari segi pemberitaan-pemberitaan gaib yang
dipaprkan oleh al-Qur’an seperti dalam surat yunus, 10:92 dikatakan bahwa
“badan fir’aun akan diselamatkan Tuhan sebagai pelajaran bagi generasi-generasi
berikutnya,” yang ternyta pada tahun 1896 ditemukan mummi yang menurut arkeolog
adalah Fir’aun yang mengejar-ngejar nabi Musa, dan
3) Isyarat-isyarat ilmiah yang dikandung
al-Qur’an, seperti dalam surat yunus, 10: 5 dikatakan, “cahaya matahari
bersumber dari dirinya sendiri, sedang cahaya bulan adalah pantulan (dari
cahaya matahari)”[4]
C. Hukum-Hukum yang Dikandung al-Qur’an
Para ulama ushul fiqh menginduksi hukum-hukum
yang dikandung al-Qur’an terdiri atas:[5]
1. Hukum-hukum i’tiqad, yaitu hukum yang
mengandung kewajiban para mukallaf untuk mempercai Allah, Malaikat, kita, rasul
dan hari kiamat,
2. Hukum-hukum yang berkaitan dengan ahlak dalam
mencapai keutamaan pribadi mukallaf.
3. Hukum-hukum praktis yang berkaitan dengan
hubungan antara manusia dengan penciptanya dan antara sesama manusia.
Hukum-hukum praktis ini dibagi menjadi:
a. Huku-hukum yang berkaitan dengan ibadah,
seperti shalat, puasa, zakat, haji, nazar, dan sumpah;
b. Hukum-hukum yang berkaitan dengan mua’amalah,
seperti berbagai transaksi jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, yang
dibagi lagi kepada:
1) Hukum-hukum perorangan, seperti kawin, talak,
waris, wasiat, wakaf, dan
2) Hukum-hukum perdata, seperti jual beli, pinjam
meminjam, perserikatan dagang, dan transaksi harta dan hak lainnya;
c. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah
pidana;
d. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah
peradilan, baik yang bersifat perdata maupun bersifat pidana;
e. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah
ketatanegaraan;
f. Hukum-hukum yang berkaitan dengan hubungan
antar negara; dan
g. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah
ekonomi, baik bersifat pribadi, masyarakat, maupunn negara.
D. Penjelasan
al-Qur’an Terhadap Hukum-Hukum
Al-Qur’an sebagai sumber utama hukum islam telah
menjelaskan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya dengan cara:[6]
1. Penjelasan rinci (Juz’i) terhadap
sebagian hukum-hukum yang dikandungnya (aqidah, hukum waris, hudud, dan
kaffarat). Hukum-hukum yang rinci adalah hukum ta’abbudi yang tidak bisa
dimasuki oleh logika
2. Penjelasan al-Qur’an terhadap sebagian besar
hukum-hukum itu bersifat global (kulli), umum, dan mutlak (shalat,
zakat.) untuk hukum-hukum yang gobal, umum, dan mutlak ini, Rasulullah ﷺ.,
melalui sunnahnya, bertugas menjelaskan, mengkhususkan dan membatasinya. Hal
inilah yang diungkpkan al-Qur’an dalam surat al-Nahl, 16: 44:
وَ أَنْزَلْنَا إليْكَ الذِّكرَى لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ
إِلَيْهِمْ
Dan kami turunkan kepada engkau (Muhammad) al-Qur’an agar
dapat engkau jelaskan kepada mereka apa-apa yang diturunkan Allah pada
mereka.....
Menurut para ahli ushul fiqh mengenai
keterbatasan ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat global dan rinci bahwa apabila
al-Qur’an menurunkan seluruh peraturannya secara rinci, maka justru akan
membuat al-Qur’an itu bersifat terbatas dan tidak bisa mengayomi perkembangan
dan kemajuan umat manusia. Oleh sebab itu, kaidah-kaidah dan kriteria-kriteria
umum yang diungkapkan al-Qur’an menjadi penting artinya dalam mengantisipasi
perkembangan dan kemajuan umat manusia di segala tempat dan zaman. Adapun
kesempurnaan kandungan al-Qur’an itu dapat dirangkum dalam tiga hal berikut:
1. Teks-teks rinci (Juz’i) yang dikandung
al-Qura’an
2. Teks-teks global (Kulli) yang
mengandung berbagai kaidah dan kriteria umum ajaran-ajaran al-Qur’an. Dalam hal
ini al-Qur’an menyerahkan sepenuhnya kepada para ulama untu memahaminya sesuai
dengan tujuan-tujuan yang dikehendaki Syara’, serta sejalan dengan
kemashlahatan umat manusia di segala tempat dan zaman.
3. Memberikan peluan kepada sumber-sumber Hukum
Islam lainnya untuk menjawab persoalan kekinian melalui berbagai metode yang
dikembangkan para ulama, seperti melalui sunnah Rasul, Ijma’, qiyas,
istihsan, mashlahah wal mursalah, istishhab, ‘urf, dan sadd ad dzari’ah.
Semua metode ini telah diisyaratkan al-Qur’an.
Dengan ketiga unsur ini, maka seluruh permasalahan hukum dapat dijawab
dengan bertitik tolak kepad huum rinci dan kaidah-kaidah umum al-Qur’an itu
sendiri. Di sinilah, menurut para ulama ushul fiqh, letak kesempurnaan
al-Qur’an bagi umat manusia.[7]
E. Dalalah al-Qur’an terhadap Hukum-Hukum
Al-Qur’an yang diturunkan secara mutawatir, dari segi turunnya
berkualitas qath’i (pasti benar). Akan tetapi, hukum-hukum yang
dikandung al-Qur’an adakalnya bersifat qath’i dan adakalanya bersifat zhanni
(relatif benar).[8]
Ayat yang bersifat qath’i adalah lafal-lafal yang mengandung
pengertian tunggal dan tidak bisa dipahami makna lain darinya. Ayat-ayat
seperti ini misalnya, ayat-ayat waris dalam surat al-Nisa’, 4: 11:
يوصيكم الله في أولادكم للذكر مثل حظ الأنثيين فإن كن نساء فوق اثنتين
فلهن ثلثا ما ترك وإن كانت واحدة فلها النصف
Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu, seorang anak lelaki sama dengan dua bagian
anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua orang, maka
bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; dan jika anak perempuan
itu seorang saja, maka ia memperoleh separoh harta.
Contoh lain ayat hudud dalam surat al-Nur, 24:
2:
الزانية و الزاني فاجلدوا كل واحد منهما مائة جلدة
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang
berzina, maka derahlah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali.
Contoh ayat kaffarah sumpah Allah berfirman:
فصيام ثلاثة أيام.....
.... maka
berpuasa selama tiga hari... (Q.S. al-Ma’idah, 5: 89)
Bilangan-bilangan dalam ketiga ayat di atas
-bagian waris, seratus kali dera bagi orang yang melakukan zina, dan puasa tiga
hari untuk kaffarat sumpah- adalah mengandung hukum yang qath’i dan
tidak bisa dipahami dengan pengertian lain.
Adapun
ayat-ayat yang megandung hukum zhanni adalah lafal-lafal yang dalam
al-Qur’an mengandung pengertian lebih daari satu dan memungkinkan untuk
dita’wilkan. Misalnya lafal Musytarak (mengandung pengertian ganda),
yaitu kata quru’ (القروء ) yang terdapat dalam surat al-Baqarah,
2: 228. Kata quru’ merupakan lafal Musytarak yang mengandung
dua makna, yaitu “suci” dan “haid”. Oleh sebab itu, apabila kata quru’ diartikan
dengan suci, sebagaimana yang dianut ulama syafi’iyyah, adalah boleh (benar),
dan jika diartikan dengan haid juga boleh (benar) sebagaimana yang dianut ulama
hanafiyyah.
F. Struktur Bahasa al-Qur’an terhadap Hukum-Hukum
Salah satu keistimewaan al-Qur’an adalah struktur bahasa yang berbeda yang
dipergunakan dalam menentukan hukum.
Dalam mengistinbatkan hukum-hukum yang dikandung al-Qur’an, menurut
ulama ushul fiqh, harus diperhatikan berbagai struktur bahasa yang
dipergunakan. Oleh sebab itu, struktur yang dipergunakan al-Qur’an dalam
kaitannya dengan hukum, di antaranya adalah sebagai berikut:[9]
1. Setiap perbuatan yang dianggap agung oleh
Allah, dipuji pelakunya, dicintai, dinyatakan pelakunya sebagai orang yang istiqamah
dan mendapat berkah, maka perbuatan itu dituntut untuk dilakukan. Oleh
sebab itu, hukum yang dikandungnya bisa berbentuk wajib dan bisa juga berbentuk
sunnah. Dalam menentukan wajib atau sunnah itu dilihat kepada kata atau kalimat
yang dipergunakan al-Qur’an, apakah bersifat pasti dan mengikat atau tidak.
Apabila bersifat pasti dan mengikat, maka hukumnya wajib, tetapi apabila
dituntut dilakukan tetapi tidak bersifat pasti dan mengikat , maka hukumnya
sunnah.
2. Setiap perbuatan yang dituntut untuk
ditinggalkan atau pelakunya dikecam dan dicela, atau pelakunya disamakan dengan
hewan, atau pekerjaan itu disebut sebagai pekerjaan setan, atau pekerjaan itu
menyebabkan pelakunya menerima hukuman dunia atau akhirat, atau pekerjaan itu
dianggap najis, kotor, membawa kepada permusuhan, dan membawa kepada kefasikan,
maka pekerjaan itu dituntut untuk ditinggalkan. Apabila dilakukan juga, maka
pelakunya dicela atu disiksa baik didunia maupun di akhirat. Selanjutnya,
larangan itu bisa bersifat pasti (dikatakan haram mengerjakannya) dan bisa juga
bisa bersifat tidak pasti (disebut sebagai makruh).
3. Apabila ayat itu menunjukkan pekerjaan itu
boleh dilakukan atau halal, atau meniadakan kesulitan dan dosa bagi pelakunya,
maka hukumnya mubah. Artinya, boleh dikerjakan dan boleh pula
ditinggalkan, tanpa mendapatkan imbalan apapun.
G. Beberapa Kaidah Ushul Fiqh yang Terkait dengan
al-Qur’an
Para ulama ushul fiqh, mengemukakan beberapa
kaidah umum ushul fiqh yang terkait dengan al-Qur’an. Kaidah-kaidah itu
diantaranya adalah:[10]
1. Al Qur’an merupakan dasar dan sumber utama
hukum islam, sehingga seluruh sumber hukum atau metode istinbat hukum harus
mengacu kepada kaidah umum yang dikandung al-Qur’an.
2. Untuk memahami kandungan al-Qur’an, mujtahid
harus mengetahui secara baik sebab-sebab diturunkannya al-Qur’an (asbab
al-nuzul), karena ayat-ayat al-Qur’an itu diturunkan secara bertahap sesuai
dengan situasi dan kondisi sosial masyarakat ketika itu. Alasannya adalah:
a. Seseorang tidak bisa memahami kemu’jizatan
al-Qur’an, kecuali setelah mempelajari situasi dan kondisi sosial di zaman
turunnya al-Qur’an tersebut.
b. Ketidaktahuan terhadap sebab-sebab turunnya
ayat, akan membuat kerancuan dalam memahami hukum-hukum yang dikandung al-Qur’an,
karena al-Qur’an itu turun sesuai dengan permasalahan yang memerlukan ketentuan
hukum.
3. Dalam memahami kandungan hukum dalam
al-Qur’an, mujtahid juga dituntut untuk memahami secara baik adat kebiasaan
orang Arab, baik yang berkaitan dengan perkataan maupun perbuatan, karena tidak
memahami hal ini akan membawa kepada kerancuan dalam memahami al-Qur’an.
Misalnya:
a. Allah dalam surat al-Baqarah, 2: 196
berfirman:
وَاأَتموا الحج والعمرة لله
Dan sempurnakanlah haji dan umrah untuk
Allah...
Ayat ini hanya
memerintahkan untuk menyempurnakan haji dan ‘umrah, bukan memerintah
mengerjakan haji atau umrah itu sejak semula. Artinya, karena orang-orang di
zaman jahiliyah sudah melaksanakan haji dan umrah, maka Allah memerintahkan
untuk menyempurnakan sebagian manasik haji tersebut serta menambahnya dengan
manasik haji yang lain, seperti wukuf di ‘Arafah. Oleh sebab itulah, menurut
para ahli ushul fiqh, kata yang dipergunakan Allah adalah “sempurnakanlah haji
dan umrah,” tetapi harus dimulai sejak dari awal sebagaimana yang telah
dilaksanakan oleh orang-orang di zaman jahiliyah, dan tuntutan untuk
menyempurnkannya dapat dlihat dalam sunnah rasulullah saw.
b. Allah swt. Berfirman dalam surat al-Baqarah,
2: 286:
Ya tuhan kami, janganlah engkau hukum kami jika
kami lupa atau bersalah...
Ayat ini
menurut Abu Yusuf (113-182 H/731-798 M),[11] ahli
fiqh Hanafi , berkitan dengan masalah syirik, karena yang disebut dalam ayat
itu adalah orang-orang yang baru masuk islam. Oleh sebab itu, menurutnya, ayat
ini tidak ada kaitannya dengan masalah sumpah dalam talak, memerdekakan budak
dan jual beli, karena sumpah ketika itu belum dikenal.
c. Allah berfirman :
Bahwasanya Dia-lah (yang memiliki) bintang
syi’ra. (Q.S. al-najm, 53:49).
Orang-orang
suku Khuza’ah menyembah bintang syi’ra tersebut, karena satu-satunya sembahan
mereka adalah bintang itu. Oleh sebab itu, menurut ahli ushul fiqh, Allah
menyebut langsung bintang tersebut.
d. Seluruh hikayat yang ada dalam al-Qur’an
kemudian diiringi Allah dengan bantahan sesudahnya, maka hikayat itu dianggap
batal. Misalnya, Allah berfirman dalam surat al-An’am, 6: 91:
Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada
manusia...
Kemudian Allah mengiringinya dengan
firman-Nya:
Katakanlah: “siapakah yang menurunkan kitab
(taurat) yang dibawa oleh musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia...” (sama dengan dalam Q.S. al-An’am, 6: 91).
Berdasarkan hal
ini, menurut para ahli ushul fiqh, hikayat itu dibantah sendiri oleh Allah
secara langsung.
Hal ini
menunjukkan betapa pentingnya bagi mujtahid mengetahui secara baik sebab-sebab
turunnya suatu ayat, sehingga ia dapat secara tepat dan benar mengistinbatkan
hukum dari ayat tersebut.
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
-
Secara bahasa
al-Qur’an berasal dari bahasa arab قُرْآنٌ yang artinya bacaan
Adapun secara istilah al-Qur’an adalah Kalam
Allahﷻ,
mengandung mu’jizat dan diturunkan kepada Rasulullah, Muhammad ﷺ.,
dalam bahasa arab yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir,
membacanya merupakan ibadah, terdapat dalam mushhaf, dimulai dari surat
al-Fatihah dan ditutup dengan surat al-Nas.
-
Al-Qur’an merupakan mu’jizat rasul ﷺ dan
wajib untuk berhujjah dengannya.
-
Hukum yang dikandung al-Qur’an yaitu tentang i’tiqad,
akhlaq, dan mu’amalah
[1] Saif al-din al-amidi, al-Ihkam...., op. Cit., hal. 82; Ibn ‘Amir
al-Haj, al-Taqrir wa al-Tahbir, op. Cit., Jilid II, hal. 213;
Al-Bannani, Syarh al-Mahalli ‘ala al-Jam’i al-Jawami’. Op.cit., hal.159;
dan lihat juga Sa’ad al-Din Mas’ud ibn ‘Umar al-Taftazani, Syarh al-Talwih
‘ala al-Tawdhih. Makkah al-Mukarramah: Dar al-Baz, Jilid I, t.t., hal.29
[2] Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Syaukani, Nail al-Authar, op. Cit., hal.
26-27 dan wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, op. Cit., hal.
421-425
[3] Al-Baqillani, I’jaz al-Qur’an, Damaskus: al-Maktab al-Islami, 1978,
hal. 33-50
[4] M. Quraish Shihab, op. Cit.
[5] ‘Abdul Wahhab Khalaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam,
1983, hal. 33
[6] Zakiyuddin syaban, Ushul al-Fiqh al-Islami, Mesir: Dar al-Ta’lf,
1961, hal. 144
[7] Ibid., dan lihat juga Muhammad Taqiy al-Hakim, al-Ushul
al-‘Ammah li al-Fiqh al-Muqarin, Beirut: Dar al-Andalus, 1963, hal.
100-1005
[8] Zakiyuddin Sya’ban, op. Cit., dan ‘Abdul Wahhab al-Khalaf, op. Cit., hal.
37
[9] Jalaluddin ‘Abdurrahman al-Suyuthi, op. Cit.
[10] Wahbah al-zuhaili, op.cit., hal. 445 dan Zakiyuddin al-sya’ban, op.cit.,
hal. 26